Sumber : www.pendaftaranmahasiswa.web.id
Memulai paragraf
tentang sebuah universitas nyatanya bukanlah hal yang mudah. Apalagi ini adalah
universitas yang telah menggembleng saya sejauh ini. Tapi setidaknya saya akan
mencoba sejujur mungkin menautkan satu per satu huruf menjadi sebuah paragraf
yang berkesinambungan.
ULM atau yang familiar di muntung (mulut) masyarakat Kalsel, UNLAM. Walau sudah resmi mengukuhkan nama menjadi ULM, tetap saja apa yang tertanam di benak masyarakat adalah nama UNLAM. Saya memulai kiprah menjadi keluarga ULM sejak tahun 2016. Program studi yang saya pilih adalah Psikologi.
Pastinya
kita semua tahu bahwa ULM menjadi simbol pendidikan tinggi terutama di Provinsi
Kalimantan Selatan. Mungkin sejauh ini saingan ULM yang bisa disejajarkan dalam lingkup
Kalimantan hanya UNMUL. Mungkin.
Dengan sejarah yang kuat dan menjadi simbol harapan
para orangtua untuk masa depan anaknya. ULM pada awalnya membuat saya skeptis.
Bahwa benar memang ULM ini adalah kampus kebanggaan masyarakat Kalimantan
Selatan. Namun di tahun 2009, setelah saya coba-coba ulik soal ULM, akreditasi
kampus ini masih setara C. Tentu itu bukan gambaran yang baik untuk sebuah kampus
yang punya sejarah yang cukup panjang. Hingga pada akhirnya ULM berproses dan
berbenah. Tahun 2016 ULM sudah berpredikat B, dan tentunya keraguan saya di
awal mulai terkikis. Hingga pada akhirnya saya memutuskan mendaftar di ULM. Dan
baru-baru ini ULM nyatanya tidak merasa nyaman dengan akreditasi B tersebut.
Tidak tanggung-tanggung, saat ini ULM
sudah berpredikat A, keren!
Tentunya
ikatan yang terjalin antara saya dan ULM layaknya ikatan sepasang kekasih di
awal menjalin asmara, penuh keraguan dan kurangnya rasa percaya. Semester awal
saya mulai ngampus di ULM, saya masih menyimpan sejuta keraguan menyoal masa
depan saya bersama embel-embel ULM ini. Maklum, sebagai maba yang seringkali
terkontaminasi artikel-artikel dan ujaran-ujaran soal latar belakang kampus
yang katanya akan mempermudah mencari pekerjaan. Tahun 2016 saya masih
menganggap ULM adalah kampus yang belum mencapai standar harapan terkait kampus
keren, bagus dan berdaya saing. Saat itu saya masih meromantisasi perasaan saya
dengan kekecewaan gagal masuk UI dan UNDIP. Saya masih terjebak bayang-bayang dua
kampus itu dan masih tidak menaruh harapan dan cinta pada ULM.
Tetapi kita
hidup di dunia yang tidak pernah diam. Waktu terus berjalan, mata kuliah
berganti dan semester bertambah. Perlahan saya mulai menapaki kehidupan baru
dengan berbagai cerita di ULM. Yang namanya waktu dan perasaan. Kadang dua hal
tersebut seringkali tidak tetap kedudukannya. Begitu juga dengan waktu dan perasaan saya. Ada sesuatu
yang mulai terkikis seiring waktu. Ya, keraguan saya mulai memudar. Menginjak
semester tiga, hati dan rasa cinta saya mulai tumbuh terhadap universitas ini.
Alasannya? Entahlah, ada banyak hal yang tidak perlu dijelaskan, apalagi
menyangkut perasaan. Di semester tiga saya mulai aktif mengikuti organisasi. Saya
menjadi staf Hima Psikologi tahun 2017/2018 . Lewat organisasi inilah banyak
pandangan-pandangan dan perasaan saya menyoal ULM perlahan berubah.
Saya ingat betul
ketika ILMPI atau Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia sering
mengadakan lomba-lomba kepenulisan. Saya yang notabene lumayan suka menulis, tentu
memanfaatkan lomba tersebut untuk setidaknya berkontribusi mengirimkan artikel
saya mengatasnamakan ULM. Dari lomba-lomba tersebut ada beberapa yang saya
menangi. Dan ketika nama saya dan ULM berada di urutan pertama bersanding
dengan UGM, UB dan UI , dari situ saya melihat bahwa ULM punya potensi. ULM
sebenarnya memiliki orang-orang yang mampu bersaing dengan kampus-kampus
raksasa di Pulau Jawa sana. Apa yang saya raih hanya sebagian kecil dari
komunitas orang-orang berkualitas yang ada di ULM. Semenjak itu keraguan saya
hilang, muncul rasa optimis dan kepercayaan diri yang tinggi ketika bertemu dengan anak-anak Psikologi dari
daerah lain seperti UGM, UI, UNHAS, UB dan daerah-daerah lainnya. Apalagi
ketika tahun ini, ULM dipercaya menjadi tuan rumah Musyawarah Kerja Nasional
ILMPI ke-9. Dari situ saya yakin, ULM sudah mulai punya kedudukan yang tidak
bisa dipandang sebelah mata di kancah pendidikan tinggi nasional.
Lalu
bagaimana perasaan saya saat ini? Masih ragu dan masih tidak cinta? Di semester
tujuh ini, saya telah berdamai dengan hati dan perasaan saya. Bahwa nyatanya
romantisasi kekecewaan saya di semester awal ternyata fana. Keabadian yang akan
saya bawa sampai mati nyatanya adalah universitas yang setiap minggu tanahnya
saya pijak, Universitas Lambung Mangkurat. ULM akan abadi menjadi jawaban saya
ketika ditanya, pernah kuliah di mana, lulusan mana dan S1 nya di mana. ULM
juga pastinya akan menjadi penopang dan sumber tenaga saya untuk bersaing
dengan berbagai manusia di kehidupan yang sebenarnya. Dan yang terpenting, ULM
telah menyisipkan banyak sekali kenangan dalam memori saya sejauh ini. Entah
itu kenangan indah, konyol hingga menyedihkan. Semua menjadi satu, saya
adalah ULM dan ULM adalah saya.
Menjadi
sebuah universitas kebanggaan Banua pastinya menyenangkan. Namun kesenangan
tersebut tidak akan berarti apa-apa jika nama sebesar ULM ini hanya jalan di tempat.
Syukurlah kecenderungan itu seiring waktu semakin jarang saya rasakan. Saat
ini ULM sudah mulai bersolek. Mulai dari sarana dan infrastruktur, hingga
kualitas pengajaran mulai dari dosen dan staf, hingga yang paling penting adalah
mahasiswanya. Saat ini semuanya mulai digembleng untuk mampu bersaing tidak
hanya di lingkaran lokal, tetapi nasional hingga Internasional.
Saya lega,
paling tidak sebelum saya berhasil lulus dari kawah candradimuka yang bernama
ULM ini, saya setidaknya sudah melihat bagaimana ULM sudah memiliki beberapa infrastuktur yang memadai dengan tidak meminjam gedung saat musim wisuda. Setidaknya
sebelum lulus, saya sudah merasakan betapa SIMARI ULM juga seiring waktu punya
tampilan yang bagus, efisien dan mudah diakses. Apalagi ketika melihat web
resmi ULM, saya semakin bangga menjadi bagian dari universitas ini.
Cinta sudah
tumbuh, ragu mulai rapuh. Saya optimis melihat masa depan Universitas Lambung Mangkurat. Saya mungkin tidak ragu untuk mengucapkan ,“ULM Kampus Pilihanku”
dan saya yakin suatu saat, entah kapan, ULM akan punya slogan yang keren
semacam :“ULM Go International.”
Berawal dari
keraguan dan kekecewaan atas kegagalan. ULM memeluk saya layaknya seorang ibu
yang mengerti perasaan anaknya. Dia mengajari saya menyoal berbagai hal. Tidak
hanya tentang akademik, berbagai pelajaran soal hidup dan passion pun pada akhirnya saya temukan ketika saya tenggelam dalam
kehidupan bersama ULM. Ketika akhirnya
kita bicara apakah ULM mampu menghasilkan orang-orang yang memiliki daya saing
dan punya kualitas menjadi universitas terkemuka. Satu yang bisa saya katakan,
ULM sedang berproses menujua ke sana. Kita hanya perlu percaya dan yakin bahwa
ULM tidak suka jalan di tempat, ULM ingin terbang menjadi kampus yang berdaya saing
dan terkemuka di seluruh nusa dan bangsa!
makasih yah kak udah share
BalasHapuspaket data axis