Senin, 28 Oktober 2019

ULM : Kawah Candradimuka Pribadi Berkualitas dan Berdaya Saing Bagi Nusa dan Bangsa




Memulai paragraf tentang sebuah universitas nyatanya bukanlah hal yang mudah. Apalagi ini adalah universitas yang telah menggembleng saya sejauh ini. Tapi setidaknya saya akan mencoba sejujur mungkin menautkan satu per satu huruf menjadi sebuah paragraf yang berkesinambungan.

ULM atau yang familiar di muntung  (mulut) masyarakat Kalsel, UNLAM. Walau sudah resmi mengukuhkan nama menjadi ULM, tetap saja apa yang tertanam di benak masyarakat adalah nama UNLAM. Saya memulai kiprah menjadi keluarga ULM sejak tahun 2016. Program studi yang saya pilih adalah Psikologi.

Pastinya kita semua tahu bahwa ULM menjadi simbol pendidikan tinggi terutama di Provinsi Kalimantan Selatan. Mungkin sejauh ini saingan ULM  yang bisa disejajarkan dalam lingkup Kalimantan hanya UNMUL. Mungkin.

Dengan  sejarah yang kuat dan menjadi simbol harapan para orangtua untuk masa depan anaknya. ULM pada awalnya membuat saya skeptis. Bahwa benar memang ULM ini adalah kampus kebanggaan masyarakat Kalimantan Selatan. Namun di tahun 2009, setelah saya coba-coba ulik soal ULM, akreditasi kampus ini masih setara C. Tentu itu bukan gambaran yang baik untuk sebuah kampus yang punya sejarah yang cukup panjang. Hingga pada akhirnya ULM berproses dan berbenah. Tahun 2016 ULM sudah berpredikat B, dan tentunya keraguan saya di awal mulai terkikis. Hingga pada akhirnya saya memutuskan mendaftar di ULM. Dan baru-baru ini ULM nyatanya tidak merasa nyaman dengan akreditasi B tersebut. Tidak tanggung-tanggung,  saat ini ULM sudah berpredikat A, keren!

Tentunya ikatan yang terjalin antara saya dan ULM layaknya ikatan sepasang kekasih di awal menjalin asmara, penuh keraguan dan kurangnya rasa percaya. Semester awal saya mulai ngampus di ULM, saya masih menyimpan sejuta keraguan menyoal masa depan saya bersama embel-embel ULM ini. Maklum, sebagai maba yang seringkali terkontaminasi artikel-artikel dan ujaran-ujaran soal latar belakang kampus yang katanya akan mempermudah mencari pekerjaan. Tahun 2016 saya masih menganggap ULM adalah kampus yang belum mencapai standar harapan terkait kampus keren, bagus dan berdaya saing. Saat itu saya masih meromantisasi perasaan saya dengan kekecewaan gagal masuk UI dan UNDIP. Saya masih terjebak bayang-bayang dua kampus itu dan masih tidak menaruh harapan dan cinta pada ULM.

Tetapi kita hidup di dunia yang tidak pernah diam. Waktu terus berjalan, mata kuliah berganti dan semester bertambah. Perlahan saya mulai menapaki kehidupan baru dengan berbagai cerita di ULM. Yang namanya waktu dan perasaan. Kadang dua hal tersebut seringkali tidak tetap kedudukannya. Begitu juga  dengan waktu dan perasaan saya. Ada sesuatu yang mulai terkikis seiring waktu. Ya, keraguan saya mulai memudar. Menginjak semester tiga, hati dan rasa cinta saya mulai tumbuh terhadap universitas ini. Alasannya? Entahlah, ada banyak hal yang tidak perlu dijelaskan, apalagi menyangkut perasaan. Di semester tiga saya mulai aktif mengikuti organisasi. Saya menjadi staf Hima Psikologi tahun 2017/2018 . Lewat organisasi inilah banyak pandangan-pandangan dan perasaan saya menyoal ULM perlahan berubah.

Saya ingat betul ketika ILMPI atau Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia sering mengadakan lomba-lomba kepenulisan. Saya yang notabene lumayan suka menulis, tentu memanfaatkan lomba tersebut untuk setidaknya berkontribusi mengirimkan artikel saya mengatasnamakan ULM. Dari lomba-lomba tersebut ada beberapa yang saya menangi. Dan ketika nama saya dan ULM berada di urutan pertama bersanding dengan UGM, UB dan UI , dari situ saya melihat bahwa ULM punya potensi. ULM sebenarnya memiliki orang-orang yang mampu bersaing dengan kampus-kampus raksasa di Pulau Jawa sana. Apa yang saya raih hanya sebagian kecil dari komunitas orang-orang berkualitas yang ada di ULM. Semenjak itu keraguan saya hilang, muncul rasa optimis dan kepercayaan diri yang tinggi ketika bertemu dengan anak-anak Psikologi dari daerah lain seperti UGM, UI, UNHAS, UB dan daerah-daerah lainnya. Apalagi ketika tahun ini, ULM dipercaya menjadi tuan rumah Musyawarah Kerja Nasional ILMPI ke-9. Dari situ saya yakin, ULM sudah mulai punya kedudukan yang tidak bisa dipandang sebelah mata di kancah pendidikan tinggi nasional.

Lalu bagaimana perasaan saya saat ini? Masih ragu dan masih tidak cinta? Di semester tujuh ini, saya telah berdamai dengan hati dan perasaan saya. Bahwa nyatanya romantisasi kekecewaan saya di semester awal ternyata fana. Keabadian yang akan saya bawa sampai mati nyatanya adalah universitas yang setiap minggu tanahnya saya pijak, Universitas Lambung Mangkurat. ULM akan abadi menjadi jawaban saya ketika ditanya, pernah kuliah di mana, lulusan mana dan S1 nya di mana. ULM juga pastinya akan menjadi penopang dan sumber tenaga saya untuk bersaing dengan berbagai manusia di kehidupan yang sebenarnya. Dan yang terpenting, ULM telah menyisipkan banyak sekali kenangan dalam memori saya sejauh ini. Entah itu kenangan indah, konyol hingga menyedihkan. Semua menjadi satu, saya adalah ULM dan ULM adalah saya.

Menjadi sebuah universitas kebanggaan Banua pastinya menyenangkan. Namun kesenangan tersebut tidak akan berarti apa-apa jika nama sebesar ULM ini hanya jalan di tempat. Syukurlah kecenderungan itu seiring waktu semakin jarang saya rasakan. Saat ini ULM sudah mulai bersolek. Mulai dari sarana dan infrastruktur, hingga kualitas pengajaran mulai dari dosen dan staf, hingga yang paling penting adalah mahasiswanya. Saat ini semuanya mulai digembleng untuk mampu bersaing tidak hanya di lingkaran lokal, tetapi nasional hingga Internasional.

Saya lega, paling tidak sebelum saya berhasil lulus dari kawah candradimuka yang bernama ULM ini, saya setidaknya sudah melihat bagaimana ULM sudah memiliki beberapa infrastuktur yang memadai dengan tidak meminjam gedung saat musim wisuda. Setidaknya sebelum lulus, saya sudah merasakan betapa SIMARI ULM juga seiring waktu punya tampilan yang bagus, efisien dan mudah diakses. Apalagi ketika melihat web resmi ULM, saya semakin bangga menjadi bagian dari universitas ini.

Cinta sudah tumbuh, ragu mulai rapuh. Saya optimis melihat masa depan Universitas Lambung Mangkurat. Saya mungkin tidak ragu untuk mengucapkan ,“ULM Kampus Pilihanku” dan saya yakin suatu saat, entah kapan, ULM akan punya slogan yang keren semacam :“ULM Go International.”

Berawal dari keraguan dan kekecewaan atas kegagalan. ULM memeluk saya layaknya seorang ibu yang mengerti perasaan anaknya. Dia mengajari saya menyoal berbagai hal. Tidak hanya tentang akademik, berbagai pelajaran soal hidup dan passion pun pada akhirnya saya temukan ketika saya tenggelam dalam kehidupan  bersama ULM. Ketika akhirnya kita bicara apakah ULM mampu menghasilkan orang-orang yang memiliki daya saing dan punya kualitas menjadi universitas terkemuka. Satu yang bisa saya katakan, ULM sedang berproses menujua ke sana. Kita hanya perlu percaya dan yakin bahwa ULM tidak suka jalan di tempat, ULM ingin terbang menjadi kampus yang berdaya saing dan terkemuka di seluruh nusa dan bangsa!