Hola, nge-pos lagi gan hahaa...........
Kali ini gw akan ngebahas Arctic Monkeys, tentu kalian tau kan band satu ini. Percayalah draft artikel ini sudah mengendap selama 3 tahun di blog amatir ini hahaa. Maka alangkah baiknya gw selesaikan saja artikel ini, yeaahh selamat membaca :)...
Oke, pada bahasan kali ini sebenaranya gw tidak akan membahas Arctic Monkeys secara menyeluruh. Gw akan membahas garis besarnya saja dari sebuah band asal Britania Raya ini. Dan juga bahasan yang khusus untuk album favorit dan menurut gw pribadi adalah album terbaik dari band ini, ya apa lagi kalau bukan album "AM".
#KELAHIRAN ARCTIC MONKEYS
Arctic Monkeys berasal dari kota Sheffield, Inggris, kota yang sama dimana band2 lain seperti Pulp dan Deff Leppard berasal. Formasi awalnya adalah Alex Turner (Gitaris), Glyn Jones (Vokalis), Matt Helders (Drummer), Jamie Cook (Gitaris) dan Andy Nicholson (Bassist). Ketika akhirnya semuanya memutuskan untuk lebih serius, Glyn Jones memutuskan untuk keluar dari band karena dia ingin fokus ke kuliah. Posisi Vokalis kemudian diisi Alex Tuner yang juga memainkan gitar. Formasi Arctic Monkey saat ini adalah Alex Turner Vokal,Jamie Cook gitar,Nick O'Malley bass dan Matt Helder drum. Alex sendiri sebelumnya hanya ingin fokus bermain gitar, dia masih terlalu malu waktu itu untuk memegang Mic. Padahal anggota yang lain tahu dia punya suara yang hebat, juga bakat dalam mencipta lagu, mungkin pengaruh dari ayahnya yang seorang guru musik. Lahir di era 2000-an Arctic Monkey menjelma menjadi band yang digadang-gadang akan sebesar Oasis dan The Beatles. Hmm, berlebihan gak sih ? i think no, why? because no itu aja.
oh iya, kenapa nama band ini Arctic Monkeys ?
Nama ‘Arctic Monkeys’ merupakan pilihan nama yang diberikan oleh gitaris Jamie Cook, dan dia belum pernah memberikan alasan yang sebenarnya kepada personel lainnya termasuk Alex Turner.
#PERJALANAN KARIR
Domino Record, Indie label yang mempopulerkan
Franz Ferdinand kemudian berhasil meminang Arctic Monkeys. Domino
dipilih karena mereka menyukai konsep Do It Yourself-nya. Label ini
dipimpin oleh Laurence Bell, yang punya gaya hidup
sederhana, menggerakkan labelnya dari flatnya dan hanya mengontrak label
sesuai selera pribadinya, bukan selera pasar.
Tahun 2009, "HUMBUG", album ketiga mereka dirilis.
Album ini di produseri Josh Homme, dan proses rekamannya sendiri
dilakukan di Amerika. Album ini sangat berbeda dengan album-album mereka
sebelumnya.
"SUCK IT AND SEE", album ke 4 mereka dirilis pada awal tahun 2011. Pada album ini lagu favorit gw Brick my brick, lagunya enak bat gan hahaa.
Album AM gw bedain bahasannya ya guys....
# MARI BAHAS "AM"
Album terakhir band ini sebelum hiatus dan bisa dibilang sebuah bentuk kedewasaan yang tersalurkan dalam album AM. Sebenarnya album AM bisa juga disebut album Self titled, Yup AM = Arctic Monkeys. Dan dibawah ini adalah tulisan keren abis dari bang Haris salah satu kontributor atau penulis artikel musik yang artikel-artikelnya sangat sering gw pantengin gan haha. dalam tulisannya, ia mengupas setiap lagu yang ada di album AM. Album AM sendiri adalah album studio ke- 5 dari Arctic Monkeys sebelum mereka memutuskan hiatus untuk beberapa waktu.
Dan kabar baiknya tahun ini Arctic Monkeys dikabarkan akan mengikuti beberapa festival musik. Ini menjadi pertanda bahwa band ini siap bangun dari tidurnya, hmm patut ditunggu. Dan juga kode ini diperjelas lewat postingan instagram Arctic Monkeys, walaupun belum jelas-jelas amat postingannya. Namun itu adalah postingan mereka ditahun 2018. FYI, akun IG mereka sama sekali kosong dan baru beberapa hari kemarin nge-pos, ciaaah kode nii. Oke banyak basinya gw, langsung yok liat tulisan bang Haris tentang album AM dibawah ini guyss... dan juga ini menjadi paragraf penutup yaaa, postingan di akhir januari yanng indah hahaa. see yaaa.......
Sembilan tahun mereka wara-wiri di jagat musik internasional, yang artinya mereka seharusnya mengalami stagnansi berkarya seperti musisi-musisi kebanyakan. Namun pergi merantau ke negeri Paman Sam demi menangkal tendensi tersebut nampaknya membuahkan keberhasilan tersendiri yang akhirnya dikemas ke dalam sebuah album yang lebih gelap, lebih intim, dan pastinya kaya akan eksplorasi musik dibanding karya-karya sebelumnya bertajuk “AM”.
Saya mendengar berbagai rengekan para
penggemar yang menginginkan mereka untuk kembali seperti dulu lagi,
namun seperti apa yang Paul McCartney dari The Beatles katakan, “…don’t
mind growing up, ‘cause you will probably become smarter if you’re
lucky”, Arctic Monkeys memanfaatkan kedewasan mereka dengan cara yang
jenius. Dalam album ini, mereka menunjukkan bahwa karya-karya apik
sebelumnya bukanlah puncak dari karir mereka walaupun telah mendapatkan
“akreditasi” baik dari penikmat musik maupun kritikus. Adanya sikap
keingintahuan yang tinggi, tidak cepat puas, serta kemampuan mengolah
inspirasi inilah yang membuat Arctic Monkeys menjadi bukan sekadar band
biasa. Kini mereka adalah musisi di jalannya sendiri.
Seperti pada track pembuka “Do I Wanna
Know?” yang membuktikan kemampuan mereka dalam menyerap influence skena
musik US dengan menyuguhkan riff-riff rock and roll yang diiringi
layer-layer vokal falsetto layaknya sebuah track RnB. Sedangkan “R U
Mine?” menawarkan dominasi guitar driven scene yang dibarengi dengan
lirik-lirik sassy, genit, serta cuek ala rockstar jaman dahulu.
Bagusnya, semua elemen “Amerika” tersebut terkesan tidak memaksa dan
berlebihan. Mereka sadar akan proporsi penggunaan hal tersebut yang
malah membuat konsep album ini terasa makin kohesif.
Keberadaan Los Angeles sebagai lokasi produksi album ini pun sepertinya cukup dihayati, layaknya track “One For The Road” yang sedikit mengambil esensi dari black music ala West Coast tahun 1990an hingga track berbau American Rock bertitel “Arabella” yang diwarnai chord-chord gitar repetitif pada chorusnya, sangat berbeda dengan apa yang biasa mereka lakukan. Sedangkan “No. 1 Party Anthem” benar-benar meresapi attitude dari rock and roll klasik, tidak hanya dari segi aransemen, namun juga dari penggunaaan catchphrase seperti “Come on, come on, come on.. Number one party anthem” yang sinkronisasinya dengan lirik lain di dalam lagu ini patut dipertanyakan.
Suasana rock and roll klasik (bahkan
cenderung seperti gospel) juga terdengar di track “Mad Sounds” yang
terasa seperti karya lawas Bob Dylan namun lebih simpel, bahkan
permainan keyboard-nya yang begitu retro mampu membuat anda merinding.
Ada pula track “Why’d You Only Call Me When You’re High?” yang
mengisyaratkan diri sebagai trilogi ke-tiga dari track “Do I Wanna
Know?” serta “R U Mine?” yang sama-sama membawa energi cukup edgy,
seksi, serta lumayan “nakal” (dan uniknya ketiga judul tersebut
sama-sama menggunakan kalimat tanya).
Hujan pujian boleh saja dialamatkan
kepada keseluruhan album ini, tetapi saya sedikit melihat “AM” sebagai
bentuk egoisme tertentu dari Alex Turner melalui Arctic Monkeys
alih-alih sebagai hasil proyek dari sebuah band. Namun sisi positif dari
keberadaan Alex Turner kini adalah ia bisa menjaga kesinambungan
kreatifitas Arctic Monkeys. Bayangkan saja apabila ia sudah tidak ada
lagi di band ini, apakah mereka akan membangun album ke-limanya dengan
cara yang sama? Saya rasa tidak.
Lebih lanjut, sepertinya mereka memilih
untuk memundurkan linimasa evolusi musik dari album ke album dan menurut
saya hal tersebut cukup unik bagi ukuran band yang besar di dekade
2000an, terlebih mereka berhasil menginterpretasi kemunduran linimasa
tersebut ke dalam kumpulan karya yang cukup segar dan memiliki identitas
tersendiri. Dan sebagai sebuah album yang memperlihatkan dimensi baru
bermusik Arctic Monkeys, “AM” akan menimbulkan polarisasi reaksi bagi
para penikmatnya. Hanya ada dua pilihan, antara betul-betul menyukainya
atau betul-betul membecinya. Apakah anda setuju?